npm : 282 10 524
kelas : 3eb20
Di
Indonesia Itu Banyak Pemimpin, Atau Paling Tidak Pemimpi
Meski
tidak mengikuti perkembangan secara serius, bahkan di daerah saya sendiri,
tetapi saya bisa melihat nampaknya Pilkada berjalan dengan sangat marak. Ada
yang berlangsung aman, ada yang yang sampai ke pengadilan dan ada juga yang
baku pukul, dengan bonus beberapa perusakan dan pembakaran.
Saya
tidak sedang ingin membahas hal-hal itu dengan lebih jauh. Saya ingin mencoba
melihat Pilkada ini dari hitungan matematis.
Kalau
mau jujur, sebenarnya menjadi pemimpin daerah itu sungguhlah berat. Di daerah
saya -kabupaten dan kotamadya di wilayah Kalimantan Timur- sesungguhnya adalah
daerah-daerah yang cukup beruntung karena memiliki sumber daya alam yang
mencukupi, dan sebagian memiliki posisi strategis dalam perdagangan, sesuatu
yang tidak setiap daerah memilikinya. Tetapi, bahkan di daerah yang relatif
makmur inipun, saya melihat bahwa andaikata daerah ini adalah suatu perusahaan,
maka ia adalah sebuah perusahaan yang tidak ringan untuk ditangani, walau oleh
seorang CEO berpengalaman sekalipun. Betapa tidak, coba saja lihat berapa
besarnya kewajiban keuangan serta kewajiban sosial yang harus dipikul oleh
pemerintah daerah. Pekerjaan-pekerjaan untuk infrastruktur, perbaikan-perbaikan
untuk layanan sosial, ledakan pertambahan penduduk, dan segudang hutang
pekerjaan lain. Jika disebutkan satu per satu sungguh amat banyak. Misalnya
saja, kondisi jalan untuk transportasi. Di daerah kota sudah seringkali timbul
kemacetan luar biasa, sementara jalan luar kota sudah berlobang di sana-sini.
Sampah, banjir musiman, gelandangan dan anak jalanan, PKL, angka kriminal yang
tinggi, adalah sebagian dari hal-hal yang sungguh tidak ringan untuk ditangani.
Lantas,
dengan kondisi yang demikian, kenapa dalam setiap Pilkada selalu ada begitu
banyak calon pemimpin yang mendaftar untuk menanggung beban yang berat
tersebut?
Berat
atau tidak menjadi seorang pemimpin, mungkin tergantung dari sudut pandangnya.
Atau lebih tepat lagi, mungkin tergantung apa yang dipandang. Dari sisi lain,
menjadi pemimpin suatu daerah, mungkin juga sebuah peluang seperti halnya kita
melihat peluang dagang, peluang berinvestasi atau bahkan peluang berjudi. Bagi
seorang calon pemimpin, apalagi yang belum begitu dikenal, maka usaha untuk
membuat dikenal dan dipercaya warga adalah sebuah upaya yang tidak gratis. Bisa
jadi dana yang diperlukan untuk itu amat besar. Nah, secara matematis, jika
orang sudah mengeluarkan investasi besar, lantas begitu berhasil malah harus
menanggung lagi beban berat permasalahan di daerah yang dipimpinnya, apa
bukannya sudah jatuh lantas ditimpa sama tangganya?
Seorang
teman berkelakar, bahwa menjadi seorang pemimpin yang "bersih"
sekalipun, tetap akan mudah menjadi kaya, meskipun tanpa korupsi. Maksudnya,
jangan sampai tergoda untuk mengkorupsi dana anggaran yang mudah diaudit,
jangan sampai tega untuk mengambil dana sosial karena itu sungguh dzalim,
lagian jumlahnya tidak seberapa dan jika ketahuan akan sangat tragis. Cukuplah
banyak berbuat baik, misalnya jangan menolak pemberian ikhlas dari kontraktor
proyek yang tendernya kita menangkan. Jangan sampai mengecewakan pihak-pihak
yang ingin memberikan tanda terima kasih karena bisnis hitamnya kita lindungi.
Buru-buru,
sambil mengucap astaghfirullah, saya buang jauh-jauh pikiran itu. Saya mohon
kepada Tuhan, setidaknya untuk daerah saya, calon pemimpin adalah memang
orang-orang yang sudah siap luar dalam, ikhlas berjuang dan selalu berada di
jalan Tuhan. Semoga!
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar