npm : 282 10 524
kelas : 3eb20
Ekonomi Pendidikan
NILAI EKONOMI DARI PENDIDIKAN
Pendidikan
sebagai Investasi
Pendidikan dalam pandangan
tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang
harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan
sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada
masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat,
sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian,
kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru
pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran
tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa
orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor
pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan ini misalnya terwujud
dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan
anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak
bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa
setelah yang lain terlebih dahulu.
Cara pandangan ini sekarang sudah
mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan
peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia
sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam
berbagai sektor.
Konsep pendidikan sebagai sebuah
investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin
diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan
prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep
tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat
menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai
dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para
teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi
keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil
tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun
1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American
Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan
utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan
keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi
semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan
bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah
memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara,
melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.
Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk
meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan
pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an
mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan
suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para
peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan
pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi
pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga
internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana
dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara
maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi
modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau
salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap
pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran
sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan
investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an,
penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan
ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat
dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu.
Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan
diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital
ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan
manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka
perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata
dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial,
budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih
penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh
sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain,
telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik
menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan
makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali
merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi
pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah
memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan
berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama
dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan
pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan
SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk
penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk
modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan.
Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat
itu sendiri.
Nilai
Balikan Pendidikan
Pengembangan SDM melalui pendidikan
menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya
pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif
dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat
balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam
rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang
berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan
riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara
yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi
daripada nehara-negara lain
Juga telah digambarkan bahwa
investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap
produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari
pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak
berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika
masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik
usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan.
Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap
lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasung dan
membesarkan anak begitu pending sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan
menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara
tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih
jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang
lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor
pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan
untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji
perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi
dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai
manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai penelitian lainnya relatif
selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal
fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan
SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan
pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat
utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.
Permasalahan
Pendidikan di Indonesia
Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005),
Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di depan
Mahasiswa Pasca UPI
Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang
dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat
relatif rendah
2. Dinamika perubahan struktur
penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan
3. Kesenjangan tingkat pendidikan
4. Good Governance yang belum
berjalan secara optimal
5. Fasilitas pelayanan pendidikan
yang belum memadai dan merata
6. Kualitas pendidikan relatif
rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik
7. Pendidikan tinggi masih menghadapi
kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK
8. Manajemen pendidikan belum
berjalan secara efektif dan efisien
9. Anggaran pembangunan pendidikan
belum tersedia secara memadai.
Permasalahan tersebut diatas
merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk
Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan
kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang
akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan
pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam Renstra Depdiknas tahun
2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : 1. Perluasan
dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance
dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan
pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan
dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal
dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.
Nilai
Ekonomi Pendidikan
Menurut Ari A. Pradana (2005)
mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan
sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih
Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini
dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi
seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal
pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut
Indonesia.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya
modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu
lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A.
Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil
(1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang
legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka
menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana
perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan
kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika
variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari
kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Namun, sejumlah misteri masih
tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang sebenarnya mengalami
peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa
median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90
persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen.
Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka
partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih
dari separuhnya.
Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan
di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi.
Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat
sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi
negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada
“keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan negara Afrika lain justru
mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami
Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun,
tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam periode yang sama
negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan
keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen.
Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan
itu seharusnya jauh lebih besar.
Selain tidak bisa menjelaskan
kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan
fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003)
menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia.
Sepanjang 1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94
menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per
kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Asumsi dasar dalam menilai
kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan
adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja
meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi lain kenaikan produktivitas
berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan
pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan
demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga
akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak
selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan
produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan
tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat
terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai
manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig
(1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi
hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara
seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi
karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin,
ada di sektor ini.
Dalam studi ini petani yang memiliki
pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah
sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan
menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi
alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh
pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke
sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian
tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa mendebat baik, dengan
pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus
menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah
masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu
dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial,
selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah
mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa
mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Intervensi
Ekonomi Secara Spesifik Pada Pendidikan
Pendapat yang mengataan bahwa
pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah
negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan
yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi
positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya,
intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.
Bentuk kehati-hatian adalah tidak
terjeba untuk mengukut peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran
pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar,
melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa
negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah,
dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan
gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Dalam hal ke tingkat pendidikan mana
anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada
1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar
bagi pendidikan tinggi menyebabkan oefisien Gini yang meningkat. Alasannya,
lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama
ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat
pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan.
Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah
itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar
disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan.
Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan
kualitas pendidikan disana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan
pemerintah yang bisa diteraka secara universal di semua negara. Ini adalah inti
dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya
juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan
tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut Mohamad Ali (2005),
dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena
pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM
kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari
anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama
17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945
yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan
anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang
pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi dibidang pengembangan SDM
merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan
perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus dijadikan suatu tolok ukur
untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu
kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan
kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya
dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar